Sabtu, 20 Maret 2010

पोलीटिक BENGKULU

Kemenangan PDI-P dan Partai Golkar dalam Pemilu 1999 dan 2004 menggambarkan kuatnya Bengkulu sebagai basis partai nasionalis. Dalam sejarah pemilu, hanya pada Pemilu 1955 partai-partai Islam menonjol di wilayah Bengkulu. Kala itu Bengkulu masih masuk Provinsi Sumatera Bagian Selatan. Tetapi, benarkah kemenangan PDI-P dan Partai Golkar di tanah tempat pembuangan Bung Karno tersebut karena faktor platform ideologi?

Masyarakat Bengkulu adalah masyarakat multietnis. Selain suku Rejang, Mukomuko, Lembak, dan Pekal yang banyak bermukim di wilayah tengah dan utara, juga ada suku Serawai, Kaur, Pasemah, Suban, di wilayah selatan, serta Enggano di Pulau Enggano. Adapun Melayu Bengkulu banyak berdiam di Kota Bengkulu dan daerah pesisir. Selain suku asli, juga ada suku pendatang yang memang telah lama tinggal di Bengkulu, seperti Jawa, Sunda, Minang, Madura, dan Batak.

Meskipun mayoritas beragama Islam, tetapi secara historis, masyarakat Bengkulu pernah dipengaruhi nilai-nilai kepercayaan lain, baik animisme, Buddha, maupun Hindu. Sebagai daerah yang subur, sejak dahulu wilayah ini menjadi daya tarik kerajaan- kerajaan besar Nusantara, sebelum kolonialisme Inggris dan Eropa hadir. Mulai dari Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, Banten, Bugis, Indrapura, Madura, dan Mataram memiliki pengaruh dan menciptakan berbagai kelompok etnis yang terdiri dari banyak marga, dengan sistem bahasa, seni tradisi, kegiatan ritual keagamaan, dan kekerabatan yang unik.

Secara demografis, berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah warga yang berasal dari suku Rejang, Serawai, dan Jawa merupakan tiga kelompok etnis terbesar, tetapi tidak ada yang dominan. Tetapi, secara geografis suku Rejang dominan di wilayah utara Bengkulu, sementara Serawai di wilayah Selatan. Suku Jawa dan beberapa suku bangsa lainnya banyak tinggal di wilayah utara. Sebagian datang melalui program transmigrasi sejak zaman Hindia-Belanda.

Potret pilkada

Berdasarkan hasil pilkada yang berlangsung di Bengkulu dari tahun 2005 hingga 2008, tak ada satu pasangan calon kepala daerah yang menang tanpa didukung koalisi antarparpol. Tidak peduli apakah koalisi itu memiliki platform ideologi yang sama atau berbeda.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Pemerintahan (2008), koalisi antarparpol yang sepakat mengusung kandidat kepala daerah dalam kenyataannya banyak yang didasarkan atas perhitungan pragmatis jangka-pendek. Suatu kerja sama politik yang saling menguntungkan satu sama lain; untung untuk pasangan calon, juga untuk parpol yang berkoalisi.

Fenomena pilkada ini juga terjadi di daerah-daerah lain sehingga hasil pilkada di Bengkulu memperkuat anggapan bahwa ketokohan seseorang sebagai calon kepala daerah di suatu daerah lebih punya daya jual ketimbang citra parpol pengusungnya. Tentu saja keberadaan parpol pendukung dibutuhkan sebagai penggerak mesin politik.

Dari sepuluh kali pemilihan kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, secara umum dimenangi melalui strategi ”koalisi partai”, yang tidak semua berdasarkan pada kesamaan platform ideologi. Misalnya, Koalisi PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memenangi pilkada di Kabupaten Mukomuko. Kemudian koalisi Partai Golkar, PKS, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menang di Kabupaten Bengkulu Utara.

Fakta lain yang menarik, meskipun pada Pemilu 1999 dan 2004 PDI-P dan Partai Golkar menang, tetapi ”jagonya” dalam pilkada belum tentu terpilih. Di Kabupaten Rejang Lebong, pasangan Suherman dan Iqbal Bastari, yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bintang Reformasi (PBR) terpilih menjadi bupati. Demikian pula di Kabupaten Lebong, pasangan Dalhadi Umar dan Nasirwantoha yang diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) juga menang dalam pemilihan. Bahkan, di tingkat provinsi, pasangan Agusrin Maryono dan HM Syamlani mengalahkan pasangan yang diusung Partai Golkar atau PDI-P.

Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi satu-satunya wilayah di mana partai berlambang kepala banteng dengan moncong putih selalu menang. Pada Pemilu 1999 dan 2004, PDI-P memperoleh suara terbanyak mengalahkan Partai Golkar. Namun, dalam Pilkada Bengkulu Selatan putaran kedua (6 Desember 2008), koalisi PDI-P, PPP, PKPI, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengusung pasangan Dirwan Mahmud dan Hartawan berhasil memenangi pilkada.

Hasil pilkada menunjukkan, ”nuansa nasionalis” Bengkulu ternyata belum menjamin Partai Golkar dan PDI-P mampu menaklukkan pilkada। Wilayah ini sangat cair dalam pilihan politiknya.

Tidak ada komentar: